Surat Untuk Abah


Sumber: Instagram
Dari awal aku menyebut perjungan ini sebagai cinta. Cinta itu memang ikhlas. Iya, seperti Qur'an surat Al-Ikhlas, yang didalamnya tak ada kata-kata ikhlas sekalipun.

Abah, aku rindu seperti dulu. Ketika hanya aku dan engkau berada di teras menjelang maghrib sembari melihat lalu lalang orang-orang mencari rezeki untuk bekal berbuka mereka saat itu. Terlihat mahasiswa ITS yang mendominasi dikeramaian para pedagang yang menggelar lapak mereka. Ya, jauh sebelum istana abah berubah seperti sekarang. Aku rindu waktu itu Abah. Saat dimana engkau menceritakan masa kecilmu, saat-saat engkau berlatih untuk melawan para penjajah selepas pulang sekolah. Pun ketika masa muda Abah, yang pernah Abah ceritakan padaku saat itu.

Abah, sebenarnya ada satu hal yang sangat ingin sekali aku bicarakan padamu. Ini tentang dakwah, Abah. Tapi aku rasa aku tak bisa melakukannya. Tak bisa ku tanyakan pada waktu itu juga, ketika matahari mulai terlihat dari ufuk barat. Karena memang, kondisi dan waktulah yang memisahkan kita. Tapi tenang, aku mengagumimu dari kejauhan serta doa kami sekeluarga akan ada untukmu. Sering sekali aku mendengar masa-masa perjuanganmu dari ibuku. Ya, ibu selalu menceritakan sosokmu kepada kami semua, terutama tentang perjuangan dakwahmu.

Ditengah-tengah kau menyiarkan cintaNya, ada suatu distorsi sehingga membuatmu harus bersembunyi. Ya, menyembunyikan diri dan mengamankan diri dari serangan benda tajam yang dibawa mereka, yang tak lain adalah orang disekitarmu saat itu. Mendengar hal itu dari cerita ibu, aku hanya bisa tertegun. Aku tak bisa membayangkan saat-saat itu, keluargamu dan ibuku pada waktu itu. Pun aku tak bisa membayangankan apa yang akan terjadi selanjutnya. Karena memang, cerita dari ibu selalu berakhir tanpa titik, ya selalu menyisakan koma yang harus dipelajari maknanya.

Abah, tetiba aku teringat dengan perjuangan Nabi kita, Nabi Muhammad SAW. Beliau pernah menyiarkan cintaNya, sampai-sampai beliau dihantui akan dibunuh pada zaman itu. Dan hal itu tak jauh beda dengan kondisi Abah saat itu juga. Jika Nabi saja bisa sekuat itu, dan Abah bisa setegar itu, lalu bagaimana dengan generasi kami Abah? Aku mohon engkau membantuku untuk bisa tetap kuat untuk mengemban amanah dan membawa 'tongkat estafet' itu, Abah. Sebenarnya aku ingin sekali engkau mengajariku tentang 'keikhlasan' yang benar-benar mendarah daging padamu.

Ya, dari awal aku menyebut perjungan ini sebagai cinta. Cinta itu memang ikhlas, Abah. Iya, seperti Qur'an surat Al-Ikhlas, yang didalamnya tak ada kata-kata ikhlas sekalipun. Pun seperti gula yang dimasukkan kedalam minuman. Terasa manisnya, namun ia tak kelihatan.

'Tongkat estafet' ini memang berwarna emas. Dan diperlukan kekuatan yang besar pula untuk membawanya sampai akhir. Dan kini aku mulai mengerti, Abah. Hanya satu kekuatan yang kita punya. Ya, bersumber pada yang maha Satu, sang Esa-lah yang benar-benar menguatkan kalian. Aku pun berharap seperti itu. Mungkin memang ilmuku masih dangkal untuk bisa 'merayuNya', tapi aku mohon Abah, ajari kami seperti engkau, dengan 'pundak' yang begitu kekar dan kokoh.

Bersambung....

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter